Wednesday, December 17, 2008

Matahari sedang tak bersinar dengan garang ke atas wajah bumi, dan semua makhluk tertidur dalam kelamnya awan, angin dingin, rintik tangisan semesta. Semuanya tertidur.

Masa yang menakutkan, dengan sedih duka-lara akan bernyanyi atas tiap raga dan jiwa, raga dan jiwa yang berdiri sendiri di atas jagad.

Daun-daun gugur kemerahan, basah, dan sekarat di ambang sejuknya musim. Tak lama lagi akan mati, dan entah bila akan muncul hidup yang baru. Setelah mati dan membusuk dalam tidur sang musim.

Semua orang bernyanyi akan kesedihan. Musim yang kelam. Dingin dan mencekam, terlebih saat malam datang berkumandang dengan sangkakala alam yang ia tiup saat senja lelah, dan beristirahat.

Tiap hembusan angin serasa menusuk kesedaran, dan menangis atas tiap tatapan, sedih mereguk nafas, dan jiwa tergeletak tak bernyawa, memandang kosong pada langit dingin. Tubuhmu mati rasa, pucat dan perlahan membeku dalam tawa yang hilang, hilang dalam gelap akhirnya musim, musim yang akan beristirahat panjang, dan mungkin kembali dengan fajar yang cerah. Nanti. Mungkin.

Angin berhembus dengan dingin, mencekik paru-paru, kering di atas kulit ini, dan membuat luka yang hampir tak terasa, tak terlihat. Tapi itu luka.

Angin berhembus dingin ke atas rimbun daun-daun mati, memenggal mereka dari tangkainya dan menguburnya bersama ribuan dedaunan lain yang telah berubah warna, merah, jingga, abu, membusuk, dan hilang. Hilang bersama musim.

Daun-daun terbang kehilangan nyawa, bersiap menuju pembaringan terakhir bersama nyawa ribuan, jutaan daun lain yang telah habis masanya tuk bersuka bersama burung, tupai, ulat, serangga, dan aku.

Dan aku di sini memandangi musim.

Dingin, menusuk, kelam, dan begitu sunyi. Selalu sunyi. Kenapa?

Mungkin kerana aku hanya sendiri yang merasa sunyi.

Tapi tika ini begitu dingin dan tak bernyawa, bak lentera yang berteriak meminta minyak untuk dian yang ia dirikan atas kesedarannya. Jagad ini sedang tak bernyawa, resah dalam sekaratnya alam. Resah dalam tidur yang menjelang tak lama lagi.

Matahari masih mendelik dari jauh, dan angin mulai bernyanyi kecil dengan awan-awan mendung. Belum ada tangis, belum ada rintik. Tapi jagad sudah tergeletak bersama kantuk tak terperi. Begitu juga aku. Kantukku tak terperi. Tubuh ini sudah begitu lelah.
Sudah begitu lelah. Di sini, di sana. Di mana-mana kurasa kaku dan letih yang mengakar di tangan dan kakiku. Letih merambat ke fikiran dan meracuni sedarku, ingin membuatnya hilang dalam mimpi.

Hidup ini seperti pacuan kuda yang memiliki jalur berkelok, kelok dan jalan yang tak jelas berakhir di mana. Jalan di mana yang berbatu, berlubang, dan memiliki rintangan tak ada yang tahu. Dan aku harus lalui, kita harus lalui. Bila kita tidak begitu letih dan merelakan raga ini dicekik lara yang menyiksa.

Saat ini kurasa letih, dan letihku menyiksa, dengan angan yang entah sudah terbang ke mimpi mana yang tak kubayangkan sebelumnya. Letih ini mengajakku beristirehat dan menghentikan perjalanan. Aku tahu pacuan ini masih jauh dari selesai, dan jalanku masih berkelok-kelok. Kuda-kuda lain masih berlarian di belakang, ada yang melewatiku. Ada yang sudah terbaring tak bernyawa.

Angin berbau racun saat dunia beristirehat kerana gelap. Dan daun-daun pun mati, hilang dalam pelukan musim. Gugur dan hilang.

Waktu sudah terjaga saat aku membuka mata, dan saat tirai kubuka hanya ada langit yang menghitam dengan kesedihan tak terkatakan bermain di ujung mata ini. Aku mengira-ngira, siapakah yang bersedih hari ini sekiranya sampai-sampai langitpun tak mampu bersinar dengan cerah, memancarkan senyum mengembang seperti kemarin.

jiwa

No comments: